Rabu, 16 Oktober 2013

Suatu hari Habib Abdullah bin Syeikh Alaydrus
duduk bercakap-cakap dengan para sahabatnya.
Tiba-tiba beliau bertanya, “Adakah dermawan yang
lebih murah hati daripada aku?”. Dua kali pertanyaan
ini diajukan, tetapi semua diam, tidak ada seorang
pun yang berani menjawab. Namun, kemudian ada
salah seorang dari mereka berkata, “Ya Habib, ada
yang lebih murah hati daripada engkau.” “Siapa dia?”
Tanya syeikh Alaydrus, “Dia tak begitu dikenal.”
“Kau harus memberitahukan siapa orang itu. Tak ada
alas an untuk menyembunyikannya dariku.” “Dia
seorang lelaki lemah bernama Ba Misbah, tinggal di
Kholif. “Apa pekerjaan laki-laki ini ? “Tukang celup
pakaian.” Pada suatu malam, Habib Abdullah
menyamar sebagai wanita, lalu pergi ke rumah Ba
Misbah di Kholif. Sesampainya di sana, beliau
mengetuk pintu rumah Ba Misbah. “Siapa…?”, tanya
Ba Misbah. “Aku seorang syarifah Alawiyah. Aku
butuh sesuatu darimu.” Dengan perasaan senang,
Ba Misbah segera keluar menemui beliau. “Selamat
datang wahai syarifah, segala puji syukur bagi Allah
yang telah memilih kami untuk memenuhi
kebutuhanmu”, katanya setelah membuka pintu.
Malam itu kebetulan adalah malam Idul Adha. “Ya
sayyidatiy, apakah kebutuhanmu, mintalah semua
yang kau butuhkan. Hamba akan patuh kepadamu”,
kata Ba Misbah. “Aku adalah seorang syarifah yang
miskin. Anakku banyak. Aku tidak memiliki ayah,
saudara maupun suami. Besok hari raya, tapi kami
tak memiliki apa-apa.” “Marhaba Permintaan yang
mudah bagi pelayanmu ini. Lalu apa yang kau
inginkan ? “Aku butuh makanan dan beras.” “Siap!”,
ia lalu memberikan dua karung makanan dan dua
karung beras. Habib Abdullah tidak membawa
barang itu pulang ke rumah, tapi beliau pergi ke
belakang rumah Ba Misbah, lalu meletakkan
makanan dan beras tersebut di sana. Beliau
menunggu hingga Ba Misbah naik ke tingkat paling
atas dari rumahnya. Setelah merasa yakin bahwa Ba
Misbah telah tidur, beliau kembali ke rumah Ba
Misbah, mengetuk pintunya. “Siapa?”, tanya Ba
Misbah. “Hababahmu, Syarifah yang tadi datang ke
sini. Aku masih ada kebutuhan yang lupa
kusampaikan kepadamu.” “Selamat dating
sayyidatiy, puji syukur bagi Allah yang telah memilih
aku untuk memenuhi kebutuhanmu. Ini sebuah
nikmat yang agung” Ia segera menemui Habib
Abdullah dengan perasaan senang dan bahagia. “Ya
sayyidatiy, mintalah apa yang kau perlukan, aku
adalah abdimu, milikmu”, katanya setelah membuka
pintu.“ Aku lupa, kami berempat di rumah tidak
memiliki pakaian. Aku butuh pakaian. “Siap”, ia lalu
mengambilkan empat pakaian yang telah dicelup dan
bergambar. Pakaian-pakaian itu berkualitas tinggi,
dan pakaian terbaik bagi wanita zaman itu adalah
yang bergambar. Habib Abdullah membawa pakaian
tersebut ke belakang rumah Ba Misbah dan
meletakkannya di tempat yang sama. Beliau mulai
takjub dengan kebaikan akhlak Ba Misbah. Sebab,
meski diganggu di malam hari, ia tidak merasa susah
dan jengkel Setelah merasa yakin bahwa Ba Misbah
telah
tidur pulas, Habib Abdullah kembali ke rumah Ba
Misbah untuk yang ke tiga kalinya. Beliau mengetuk
pintu rumahnya. Ba Misbah segera bangun dan
bertanya, “Siapakah yang di luar?”. “Hababahmu,
syarifah yang tadi datang ke sini. Aku lupa, masih
ada satu kebutuhan lagi yang belum kusampaikan
kepadamu.” “Selamat datang, segala puji bagi Allah
yang telah memilihku untuk memenuhi
kebutuhanmu”. Ba Misbah segera keluar menemui
Habib Abdullah dengan perasaan lebih senang dan
bahagia dari sebelumya. Ia membukakan pintu
seakan-akan Habib Abdullah baru pertama kali
datang ke rumahnya. “Ya sayyidatiy…, wahai
penyejuk hatiku…, mintalah apa yang engkau
butuhkan, pelayanmu ini akan selalu patuh. Apa
gerangan kebutuhanmu sekarang?” “Aku butuh
minyak zaitun, minyak samin, korma dan asidah.”
“Marhaba… Setiap kali kau butuh sesuatu mintalah
kepadaku.” Ba Misbah segera mengambilkan satu
kantong minyak zaitun, satu kantong minyak samin,
satu wadah korma. “Ya sayyidatiy, ambillah barang-
barang ini. Maafkan aku telah meyusahkanmu
lantaran engkau lupa menyebutkan semua
kebutuhanmu. Jika masih ada yang terlupa,
kembalilah kemari Kedatanganmu ke rumahku ini
merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah
padaku.” Habib Abdullah mengambil semua
pemberiannya, lalu pergi ke belakang rumah Ba
Misbah. Habib Abdullah takjub melihat kebaikan
akhlak Ba Misbah dan mukanya tidak berubah.
Beberapa saat kemudian, setelah beliau yakin bahwa
Ba Misbah telah tidur pulas, beliau kembali
mengetuk pintu rumahnya. Beliau ingin melihat sifat
buruknya, atau perubahan wajah Ba Misbah. Ba
misbah segera bangun dari tidurnya dan
bertanya,“Siapa itu?”. “Hababahmu, syarifah yang
tadi datang ke sini. Masih ada keperluanku yang
terlupakan. Cepatlah kemari.” Ba Misbah segera
keluar dengan perasaan senang dan bahagia,
seakan-akan baru pertama kali syarifah itu
mengetuk pintu rumahnya. “Selamat dating
sayyidatiy, penyejuk hatiku. Segala puji bagi Allah
yang telah mengistimewakanku dengan bolak-
baliknya engkau ke rumahku. Mintalah apa yang kau
butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Dan
memenuhi semua kebutuhanmu adalah puncak cita-
citaku.” “Masih ada kebutuhan yang terlupakan
olehku.” “Apa itu? Semua yang engkau butuhkan
akan kusediakan. Jika tidak ada di sini, aku akan
menjual diriku untuk membeli barang yang kau
butuhkan.” “Aku butuh daging untuk hari raya
besok. Besok hari raya, tapi kami tidak memiliki
sesuatu pun.” “Demi Allah, di rumah pelayanmu ini
tidak ada sesuatu pun kecuali satu kepala kambing
untuk hari raya anak-anaknya”, kata Ba Misbah
sambil memegang janggutnya, “Akan tetapi tidaklah
benar jika anak-anak orang yang kopiahnya bau ini
menikmati hari raya, sementara anak cucu
Rasulullah SAW tidak berhari raya. Ambillah kepala
kambing ini, dan berhari rayalah dengan anak-
anakmu.” Habib Abdullah membawa kepala kambing
itu dan kembali meletakkannya di belakang rumah
Ba Misbah. Habib Abdullah terheran-heran
menyaksikan akhlak Ba Misbah. Beliau berkata
dalam hatinya, “Hanya seorang arifbillah saja yang
akhlaknya seperti ini. Laki-laki ini sedikit pun tidak
melihat basyariah seseorang.”Habib Abdullah diam di
sana beberapa saat. Setelah merasa yakin bahwa Ba
Misbah telah tidur pulas, ia segera kembali ke rumah
Ba Misbah untuk yang ke lima kalinya. Beliau ingin
melihat sedikit saja perubahan dari sikap Ba Misbah,
walaupun hanya sekedar perubahan raut wajah.
Beliau kembali mengetuk pintu rumah Ba Misbah.
“Siapa itu ?” “Hababahmu, syarifah yang tadi datang
ke sini. Aku teringat satu lagi kebutuhanku.”
“Selamat datang wahai cucu Rasulullah. Kenikmatan
apa gerangan yang diberikan Allah kepadaku di
malam ini? Segala puji syukur bagi-Nya”. Ia segera
keluar dengan perasaan senang dan bahagia seakan-
akan baru pertama kali syarifah tersebut datang ke
rumahnya. “Selamat dating Ya sayyidatiy, dan
penyejuk hatiku. Mintalah semua yang kau
butuhkan. Aku adalah abdi dan pelayanmu. Aku
patuh kepadamu.” “Aku butuh kayu.” “Marhaba.” Ia
memanggil pembantunya, meminta kayu. “Wahai
hababahku, wahai pelipur hatiku, inilah kayu yang
kau butuhkan. Setiap kali kau ingat suatu
kebutuhan, kembalilah ke sini. Sebab, melayanimu
merupakan salah satu pendekatan diri yang paling
baik kepada Allah.” Habib Abdullah membawa kayu
itu, lalu meletakkannya di tempat yang sama. Beliau
kagum menyaksikan kebaikan akhlak Ba Misbah dan
kelapangan hatinya. Tak sehelai rambut pun
bergerak, tak sedikit pun raut wajah berubah. Beliau
duduk sejenak hingga benar-benar yakin bahwa Ba
Misbah telah pulas dalam tidurnya. Beliau kembali
mengetuk pintu rumahnya untuk yang ke enam kali.
Dalam hati, beliau berkata, “Mungkin kali ini raut
wajahnya akan berubah, atau ia akan mulai
menghina dan berkata kasar.” Ba Misbah segera
bangun dan bertanya, “Siapa yang mengetuk pintu?”
“Hababahmu, syarifah yang tadi ke sini. Masih ada
satu kebutuhanku yang baru kuingat sekarang.”
“Marhaba… Wahai hababahku, tuanku dan penyejuk
hatiku.” Ba Misbah keluar dengan perasaan lebih
senang dan bahagia dari sebelumnya. Sekan-akan
baru pertama kalinya syarifah itu mengetuk pintu
rumahnya. “Alhamdulillaah, kenikmatan agung apa
yang sedang diberikan Allah kepadaku ini. Aku tidak
berhak menerima kenikmatan ini. Mintalah apa yang
kau butuhkan. Wahai sayyidatiy, setiap kali kau ingat
sesuatu, datanglah ke sini. Aku adalah abdi dan
pelayanmu. Aku akan patuh kepadamu.” “Aku butuh
seseorang untuk membawakan semua yang kau
berikan kepadaku. Lihatlah, semua yang kau berikan
kuletakkan di belakang rumahmu. Aku tidak kuat
membawanya ke rumahku.” “Beres ! Kami akan
mengantarkan barang-barang itu ke mana pun
engkau suka”. Ia kemudian membangunkan isteri,
anak dan pembantunya. Mereka semua kemudian
diperintahkannya membawa barang-barang syarifah
tadi. “Ya sayyidatiy, jalanlah lebih dahulu, agar kami
dapat mengikutimu”, kata Ba Misbah. Habib
Abdullah berjalan di depan mereka. Ketika sampai di
Nuwaidiroh, Habib Abdullah berhenti dan berkata,
“Wah…, aku datang bukan dari rumahku, dan aku
tidak kenal jalan ini, kecuali kalau aku memulai lagi
dari rumah kalian. Mari kita kembali.”
“Marhaba….”Mereka semua kembali ke rumah Ba
Misbah. Setelah sampai di sana, Habib Abdullah
berkata, “Sekarang aku ingat jalan menuju rumahku.
Inilah jalannya. “Jalanlah di muka…, agar kami dapat
mengikutimu”. Beliau berjalan di depan, dan mereka
semua mengikutinya. Sesampainya di Nuwaidiroh,
beliau berhenti. “Aku kehilangan arah lagi. Apakah
gerangan yang terjadi ? Aku tidak dapat mengingat
jalan menuju rumahku, kecuali jika kita mulai lagi
dari rumah kalian. Mari kita balik ke sana.” Mereka
pun dengan senang hati kembali ke rumah Ba
Misbah. Habib Abdullah telah menguji Ba Misbah
sampai pada puncaknya. Beliau ingin melihat lelaki
itu marah, namun sedikit pun sikapnya tidak berubah
hingga Habib Abdullah sendiri merasa kelelahan.
Fajar mulai menyingsing, Habib Abdullah berkata
kepada mereka, “Sekarang telah masuk waktu fajar.
Bukalah pintu rumah kalian, aku ingin menunaikan
salat Subuh di rumah kalian.” “Selamat datang.
Salatmu di rumah ini adalah nikmat terbesar bagi
kami. Setiap kali kau meminta sesuatu kepada
pembantumu ini, ia akan menyediakannya untukmu.
Meskipun kau minta semua yang ada di rumahnya, ia
akan memberikannya kepadamu. Dan engkau
sesungguhnya telah bermurah hati kepada kami,
karena telah mengistimewakan aku untuk memenuhi
kebutuhanmu.” Ba Misbah lalu membuka pintu
rumahnya.
Setelah memasuki rumah, Habib Abdullah membuka
cadar yang menutupi wajahnya dan berkata kepada
Ba Misbah, “Sungguh beruntung kamu…, sungguh
beruntung…, kuucapkan selamat atas akhlakmu yang
luhur ini. Demi Allah, kau seorang dermawan sejati,
lebih murah hati dariku. Aku bukanlah seorang
wanita. Aku adalah Abdullah bin Syeikh Alaydrus.
Tidak ada seorang manusia pun akan mampu
berperilaku dengan akhlak yang luhur ini.” Air mata
Habib Abdullah menetes di pipi, ia berkata,
“Selamat… selamat… selamat… Maafkanlah aku.
Semoga Allah menambah apa yang telah Ia berikan
kepadamu, dan menjadikan budi pekerti kita seperti
budi pekertimu…”. Setelah berpamitan, Habib
Abdullah lalu pergi sambil memuji dan
mendoakannya.
Penulis Ulang : Muhammad Shulfi bin Abu Nawar bin
Ahmad Al ‘Aydrus.
ﺪﻤﺤﻣ ﻦﺑ ﻰﻔﻠﺳ ﻮﺑﺃ ﺭﺍﻮﻧ ﺱﻭﺭﺪﻴﻌﻟﺍ

Group Majelis Nuurus-Sa'aadah :
http://
www.facebook.com/groups/160814570679672/
http://shulfialaydrus.wordpress.com/
http://shulfialaydrus.blogspot.com/

0 komentar: